Tugas Art Of Culture
SMA PINTAR KUANTAN SINGINGI
RONALDO ROZALINO




Marcel Duchamp Fountain, 1916-17

Diskurusus tentang musik modern dapat mengacu pada dua hal. 1) Musik yang eksis pada masa modern (meskipun secara gramatik musik sama sekali tidak mengikuti ideologi modernisme), atau 2) Musik yang secara gramatik musik menganut ideologi modernisme.



Untuk model pertama adalah musik yang secara umum eksis pada masa modern. Mainstream musik ini disangga oleh sistem kapital. Musik ini juga ditentang oleh beberapa kalangan yang tidak setuju jika musik dikendalikan oleh kaum kapitalis, namun sayang para penentang ini ternyata masih juga berkubang dalam satu pola yang sama dengan yang ditentangnya. Secara sosial dapat dikatakan bahwa musik ini adalah bagian dari budaya modern serta budaya populer. Namun secara gramatik musik, sama sekali jauh dari ideologi modern.

Musik yang kini lebih dikenal dengan sebutan musik populer tersebut berawal dari folk musik. Sebuah format musik sederhana, biasanya berbentuk sistem combo. Ketika media audio berkembang, sistem recording ditemukan, musik tersebut seakan mendapatkan momentum untuk memasuki industrialisasi, salah satu tonggak modernisme. Kemudian pada gilirannya musik ini mengglobal menjelma menjadi budaya populer yang seakan memarjinalkan bentuk-bentuk musik lain, seperti halnya produk-produk modernisme yang lain. Namun gramatik musik ini relatif stag pada teori-teori musik awal. Tonalitas, sistem harmoni ters, kesatuan rhythm. Namun dalam artikel ini tidak akan lebih jauh membahas tipe pertama ini.



Pembunuhan Rasa oleh Rasio

Secara umum modernisme dipengaruhi oleh praktek teori Kapitalisme, Industrialisme, dan Nagara Bangsa. Era ini memberi area berlebih untuk filsafat materialisme. Sebuah paham yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Dan materi dapat dikenali oleh indera dan rasio. Hingga pada akhirnya rasio menjadi pertimbangan utama mainstream pemikiran modern, yang otomatis menafikkan irasio.

Begitu pula ideologi musik modern. Dalam pandangan modern, musik dapat dikenali sebagai materi bunyi yang secara fisik berujud gelombang. Nada-nada yang harmonis (selaras) memiliki frekuensi teratur yang tidak hanya bisa dirasa, namun juga bisa difikirkan. Sementara Ritme sebagai dimensi waktu dalam musik juga merupakan satuan-satuan detak yang terukur secara nyata dalam satuan detik.

Dalam perkembangan sejarah musik sejak yunani hingga romantik, musik memang telah dikenali dari dua sisi. Baik rasa maupun rasio. Namun pengambilan keputusan selalu dikembalikan pada rasa. Rasio lebih berfungsi sebagai penerjemah rasa saja. Dan inilah perbedaan mendasar musik modern dengan musik-musik sebelumnya. Ideologi modern benar-benar dileburkan ke dalam cara bermusik.

Semua gramatik musik diolah secara rasional. Mulai dari Ritme, Melodi, dan Harmoni. Ritme yang sejak semula memiliki kesatuan hitung dan penekanan, kini diolah secara rasional. Dalam musik-musik selain modern, dalam sebuah komposisi atau sebuah bagian komposisi memiliki satu kesatuan accent. Ritme tertentu serta sukat tertentu. Namun dengan pertimbangan rasio, musik modern dengan gagah berani memasukkan teori polyrhythm maupun polymeter. Polyrhythm adalah konsep menyatukan beberapa sukat yang berbeda ke dalam satu waktu. Berikut ini adalah contoh musik polyrhythm.

Sementara polymeter merupakan konsep penyambungan beberapa sukat yang berbeda dalam satu rangkaian komposisi. Dan kejutan, ternyata ada pula musik populer yang berhasil memasukkan konsep ini dalam musiknya. Tidak lain tidak bukan merupakan group rock yang tidak asing di telinga banyak orang, Dream Theatre.

Dalam bidang Harmoni, musik modern berkembang lebih radikal. Dimana harmoni yang sejak jaman yunani hingga musik hasil industri showbiz saat ini menggunakan teori harmoni ters, dalam musik modern secara radikal, lagi-lagi atas pertimbangan rasio menggunakan harmoni quartal. Di mana akor (harmoni) yang secara natural tersusun dari interval ters (1-3-5), kini disusun dalam interval quart (1-4-7). Berikut ini adalah contoh komposisi musik yang disusun dengan teori harmoni quartal.

Yang paling radikal adalah pendobrakan tonal oleh Arnold Schoenberg. Musik yang secara natural memiliki kecenderungan pergerakan yang diteorikan dalam teori tonal, oleh Schoenberg dimentahkan oleh teori atonal. Schoenberg mengawali pendapatnya bahwa sesungguhnya secara hirarkis masing-masing nada memiliki fungsi sebagai penegas maupun pengingkar tonal. Dalam kenyataannya Schoenberg menyusun musiknya dalam teori atonal. Secara nyata berujud dalam dedeochaponism, atau serialisme atau 12 tone row. Berikut adalah contoh musik yang menggunakan teori dedeochaponism.





Sebuah Pembaruan yang Membawa Petaka

Apa sesungguhnya tujuan musik modern melakukan seluruh rasionalisasi atas musik? Tidak lain tidak bukan adalah kesadaran substansial sebagai seniman dalam menciptakan sebuah kreasi baru. Secara sosial seniman dituntut untuk itu. Dan sungguh usaha itu telah berhasil. Dengan rasionalisasi atas musik, menjadikan musik-musik (berideologi) modern tersebut lepas dari mainstream musik sejak yunani sampai musik-musik hasil industri showbiz saat ini. Inilah jawaban atas tuntutan yang tidak berhasil dicapai oleh musisi kontemporer sebatas kulit serta pemberontakan kaum indie lable.

Namun sungguh jawaban tersebut tidak hanya berhasil membawa musik keluar dari mainstream. Namun dalam saat yang sama juga menjerumuskan musik itu sendiri kedalam kubangan rasio yang jauh dari rasa. Hal itu terbukti dari contoh-contoh musik hasil teori-teori musi modern yang sungguh jauh dari rasa. Maka dari itu mengapresiasi musik modern tidak dapat dilakukan dengan rasa namun dengan rasio semata.

Hal ini jelas menimbulkan sebuah kondisi labil. Di mana realitas kebenaran hanya diukur oleh materi dan rasio. Seperti halnya produk-produk pemikiran modern yang lain yang akhir-akhir ini mulai disanggah oleh postmodern. Begitu pula musik modern yang kini dikritisi oleh musik postmodern.

SENI TARI

Nama : Riza Bella Winanda

Kelas : IPA 3 SMA PINTAR

GBD : Ronaldo Rozalino S.sn

Tugas Art Of Culture

Tarian Jaipong Seni Tari Asal Jawa Barat


Jaipongan adalah seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Ia terinspirasi pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan atau Bajidoran atau Ketuk Tilu. Sehingga ia dapat mengembangkan tarian atau kesenian yang kini di kenal dengan nama Jaipongan.

Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari “Daun Pulus Keser Bojong” dan “Rendeng Bojong” yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Awal kemunculan tarian tersebut semula dianggap sebagai gerakan yang erotis dan vulgar, namun semakin lama tari ini semakin popular dan mulai meningkat frekuensi pertunjukkannya baik di media televisi, hajatan, maupun perayaan-perayaan yang disenggelarakan oleh pemerintah atau oleh pihak swasta.

Dari tari Jaipong ini mulai lahir beberapa penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kirniadi. Kehadiran tari Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para pencinta seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang di perhatikan. Dengan munculnya tari Jaipongan ini mulai banyak yang membuat kursus-kursus tari Jaipongan, dan banyak dimanfaatkan oleh para pengusaha untuk pemikat tamu undangan.

Di Subang Jaipongan gaya “Kaleran” memiliki ciri khas yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan. Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang.

Tari Jaipongan pada saat ini bisa disebut sebagai salah satu tarian khas Jawa Barat, terlihat pada acara-acara penting kedatangan tamu-tamu dari Negara asing yang datang ke Jawa Barat, selalu di sambut dengan pertunjukkan tari Jaipongan. Tari Jaipongan ini banyak mempengaruhi pada kesenian-kesenian lainnya yang ada di Jawa Barat, baik pada seni pertunjukkan wayang, degung, genjring dan lainnya yang bahkan telah dikolaborasikan dengan Dangdut Modern oleh Mr. Nur dan Leni hingga menjadi kesenian Pong-Dut.

Artikel Seni Tari

Metamorfosis Zapin Melayu


 
Beberapa penari Zapin memeragakan tarian Zapin hasil kreasi baru
yang tetap merujuk pada gaya rentak Zapin tradisional, saat Festival
Semarak Zapin Serantau di Pulau Bengkalis, Riau, akhir Agustus lalu.




Pada mulanya, Zapin adalah tarian yang bertumpu pada gerak kaki dengan iringan musik gambus dan marwas di pesisir Melayu. Seni tradisional yang tumbuh sejak abad ke-13 Masehi itu lantas melahirkan berbagai kreasi tari dan musik baru. Kini, di pentas nasional, Zapin menelusupkan warna Melayu yang rancak-mendayu.

Orang yang setia dengan tari Zapin tradisional barangkali bakal terkejut menyaksikan Semarak Zapin Serantau yang diselenggarakan Dewan Kesenian Kabupaten Bengkalis, Riau, awal September lalu. Festival yang diikuti kelompok-kelompok penari dari berbagai daerah dan Singapura itu ternyata lebih banyak menyajikan tarian hasil kreasi baru ketimbang tarian Zapin klasik yang baku. Selain kemeriahan, acara itu menyuguhkan keberagaman ekspresi Zapin zaman sekarang.

Tari Gasing Bersiku karya koreografer Iwan Irawan Permadi yang dibawakan para penari dari Pusat Latihan Tari (PLT) Laksemana, Pekanbaru, menyajikan tarian yang berbeda dengan lazimnya Zapin. Sejumlah penari laki-laki dan perempuan meliuk-liuk dan berputar bersama di atas panggung, Ragam gerak Zapin tradisional Riau yang dicau –seperti pecah delapan, gelek, atau titi batang– nyaris tenggelam di antara eksplorasi gerak tari yang bebas.

Penampilan PLT Awang Sambang dari Tanjung Balai Karimun lebih atraktif lagi. Tiga penari laki-laki dan dua perempuan berjingkrak dan melompat-lompat di atas pangung dalam tari Zapin Berawal Salam. Para penari dari Majlis Pusat Kirana Seni atas Singapura memakai tongkat dalam tari Kreasi Baru. Begitu juga Sanggar Panglima yang menampilkan tari Tuah Negeri yang memanfaatkan payung untuk menari.

“Wah, itu sudah bukan Zapin tradisi lagi. Lebih tepat dibilang hasil kreasi baru,” kata Muhammad Yazid (80), tokoh penari Zapin sepuh di Bengkalis, yang kiat mengajarkan ragam gerak Zapin tradisional.

Gerakan yang bebas, musik campura, dan dengan alat peraga memang bukan ciri Zapin tradisional. Dalam pakem lama, penari dituntut tampil lebih santun. Meski bergerak mengikuti pola-lantai, gerakan tangan dan kaki masih tetap rapat. Kaki tidak boleh mengangkang, tangan tak bisa diangkat tinggi-tinggi.

Pakaian penari biasanya hanya baju kurung atau cekak musang yang dililit kain sarung atau songket di pinggang. Iringan musik sederhana dihasilkan dari tepakan marwas dan petikan gambus serta lantunan syair-syair Melayu. Irama musik dan gerak diulang-ulang agak monoton.

“Kami memberi sentuhan baru pada Zapin. Kami tak hendak merusak pakem lama, tapi justru mengembangkan karya baru,” kata Iwan Irawan Permadi, memberikan alasan atas karyanya yang tampak “melenceng” dari pakem Zapin tradisi itu.